Posted in Education & Scholarship

TALK TO ME : Sebab Saat Depresi, Pikiran Untuk Bunuh Diri Itu Dekat Sekali.

23 November 2016.

Hari itu kota Bristol dikejutkan dengan berita meninggalnya 3 mahasiswa baru di kampus saya, University of Bristol. Yang lebih mengejutkan, mereka meninggal dengan cara bunuh diri! Memang, fenomena bunuh diri saat study ini tidak dipungkiri banyak terjadi. Bahkan, penelitian yang dilakukan oleh National Union of Students (NUS) pada Desember 2015 menemukan bahwa 1/3 dari mahasiswa yang menjadi populasi penelitian mengaku pernah berpikir untuk bunuh diri dan 78% diantaranya disebabkan karena mental health problem seperti stress dan depresi. Tahun 2014, data dari Kantor Statistik Nasional Inggris melaporkan ada 130 kasus mahasiswa (fulltime students) bunuh diri di Inggris dan Wales (sumber : metro.co.uk). Dan baru baru ini saya dikejutkan oleh kabar salah satu mahasiswa Indonesia di Jerman yang akhirnya mengakhiri hidupnya, sebuah berita yang menyesakkan dada di awal tahun 2017 😒

Memang, memulai babak baru sebagai mahasiswa, terutama di luar negeri, dimana sistem pendidikan sangat berbeda dengan yang ada di negeri sendiri, dimana tekanan akademik begitu tinggi, belum lagi masalah-masalah lain yang seolah menghampiri tanpa henti, membuat stress dan depresi tidak bisa dihindari. Apakah saya pernah mengalami? Sering sekali. Bahkan termasuk pikiran untuk bunuh diri.

SAYA PERNAH TIDAK BAIK-BAIK SAJA.

Banyak yang mengira perjalanan study saya di Inggris baik-baik saja, padahal sudah tak terhitung berapa kali kantor Dr. Woodfield, personal tutor saya menjadi saksi tumpahnya airmata saya terutama saat bulan-bulan awal kuliah. Penyebabnya, saya merasa begitu bodoh, bak remahan rempeyek yang sudah terinjak-injak acapkali melihat mahasiswa native mulai buka suara. Lancar, critical thinking yang luar biasa, mendominasi setiap diskusi yang ada. Sedang saya? Untuk berbicara saja masih harus menyusun kata. Saat kata sudah tersusun dan siap berbicara, sudah keduluan mahasiswa native yang mengatakannya. Belum lagi masalah lain, masalah non akademik yang terus menghampiri. Tahu sendiri bagaimana rasanya ketika terpisah jarak ribuan mill jauhnya dengan anak yang sedang lucu-lucunya, saat kerinduan kepada keluarga begitu menyeruak menyesakkan dada, saat hasrat biologis yang tidak terpenuhi karena juga terpisah ribuan mill jauhnya dengan suami, masalah dengan teman se flat, miskomunikasi dengan suami, kaum kaum nyinyir yang terus menerus menghakimi keputusan saya lanjut study ke luar negeri tanpa membawa anak dan suami dengan komentar keji : “menyalahi kodrat sebagai istri”, “mengorbankan keluarga demi ambisi pribadi”, atau mereka-mereka yang tega berkomentar: “Jalan-jalan terus. Kapan belajarnya!” dan memberi label “tidak pernah belajar” acapkali saya upload foto yang padahal itu hanya sekadar refreshing sejenak di sekitaran kampus saja, atau masalah lainnya. Entah sudah berapa banyak tissue Dr. Woodfield saya habiskan karenanya.

img-20161012-wa0049
Siapa yang tahan berpisah dengan anak selucu ini 😭

BICARALAH, BIARKAN ORANG LAIN TAHU APA YANG KITA RASA.

Benar, jika ada yang bertanya bagaimana cara saya menghadapi stress dan depresi ketika study, saya selalu menjawab : jangan disimpan sendiri. Pihak universitas-pun sudah memberikan fasilitas konsultasi gratis dengan psikolog di Hampton House Health Centre. Juga masing-masing mahasiswa memiliki personal tutor dimana mahasiswa bisa berkonsultasi, tidak hanya masalah akademik, namun juga masalah lain yang tengah dihadapi. Nah, jika di tempat kalian ada layanan semacam ini, jangan ragu untuk memanfaatkan.

MALU? TAKUT DIHAKIMI?

Awalnya, saya merasa demikian. Malu untuk menemui Dr. Woodfield untuk menceritakan masalah saya. Takut dikira bodoh, tidak layak menjadi mahasiswa University of Bristol, takut dihakimi lantaran sering di negeri sendiri, saat seseorang bercerita bahwa ia tengah depresi, bukan solusi yang didapat, melainkan penghakiman bahwa kita lemah iman, kurang dekat dengan Tuhan. Tapi akhirnya yang saya takutkan tidak terjadi. Dr. Woodfield justru tidak hanya mendengarkan keluh kesah saya yang merasa begitu inferior di kelas, melainkan juga membantu saya menghilangkan rasa inferior itu dengan cara sedikit sedikit bertanya : “What do you think, Mimi?” setiap kali ada diskusi sehingga saya menjadi terbiasa untuk ‘show off’, aktif berdiskusi di kelas. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi dengan saya sekarang jika saya tidak pernah menceritakan masalah saya pada Dr. Woodfield…

Saat itu di Beacon Study Space, saya tengah mengolah data untuk disertasi saya yang sudah berminggu-minggu tidak selesai. Entah mengapa saya merasa bahwa disertasi yang sedang saya tulis ini seperti sampah hingga saya tetiba menangis. Dari tangisan yang awalnya tanpa suara, hingga akhirnya sesenggukan sambil memukul-mukul kepala, dan tanpa sadar membuang tumpukan kertas kertas questionaire dari participant saya ke lantai, membuat mahasiswa lain mendekati dan mencoba menenangkan saya : “do you want to talk to me?”. Meski saya tidak kenal, saya akhirnya bercerita pada mereka. Setelah bercerita, ada rasa plong luar biasa, sebab mereka mengingatkan bahwa saya tidak sendiri. Semua orang di ruangan itu juga sedang berjuang untuk lulus dengan menulis disertasi.

screenshot_2016-08-23-11-27-05-1
Tabel ke 6 dari total 13 tabel data findings / temuan data yang harus saya analisis, yang sempat membuat saya depresi 😭

Sungguh, saya merasakan sendiri bahwa memang orang stress dan depresi itu butuh seseorang untuk mendengarkan keluh kesahnya, orang yang betul-betul tulus mendengarkan tanpa menghakimi, meski tidak selalu bisa memberi solusi.

KAMU TIDAK SENDIRIAN. SAYA HAMPIR BUNUH DIRI KARENA GAGAL.

Pernahkah saya gagal mata kuliah? Pernah. Ingat tulisan saya dimana saya entah bagaimana caranya saya bisa lupa menaruh tanda kutip untuk kutipan langsung sehingga dianggap plagiarisme dan gagal? Lelah setelah seharian kuliah, pulang-pulang membuka laptop dan mendapati nilai D terpampang di lembar penilaian. Padahal mata kuliah ini adalah mata kuliah super penting dimana jika belum lulus mata kuliah ini, saya tidak boleh menulis disertasi. Bisa dibayangkan, kan, betapa depresinya saya? Badan saya menggigil, kepala mendadak pusing dan pandangan berkunang- kunang, takut akan disidang examiner board kampus karena dianggap plagiarisme, takut tidak bisa lanjut disertasi, takut jika saat mengulang nanti saya gagal lagi… Saya menangis sejadi-jadinya, melempar paksa buku-buku di meja belajar saya ke lantai. Dan saat menatap nanar ke bawah dari jendela kamar saya di lantai 4, pikiran untuk bunuh diri tiba-tiba begitu saja menghampiri. Beruntung, saya langsung ingat bahwa saya tidak boleh menyimpan ini sendiri. Sehingga saya urung, kembali menutup jendela kamar saya dimana beberapa detik sebelumnya saya hampir melompat dari sana (naudzubillahi min dzalik).

screenshot_2017-01-12-22-52-21-1
See? I failed! I got a D!

Saya langsung menghubungi Dr. Woodfield, namun beliau tidak membalas. Tanpa pikir panjang, saya menghubungi Dr. Giampapa, dosen salah satu mata kuliah sekaligus ketua jurusan saya dan beliau langsung membalas, meminta saya untuk tenang karena masih ada kesempatan mengulang sekali lagi. Beliau juga meminta saya untuk menemuinya besok jika saya butuh teman bicara karena saat itu sudah menjelang Maghrib. Sesaat kemudian, balasan Dr. Woodfield datang. Beliau meminta saya untuk tenang, jauh jauh dari benda tajam, jangan berpikiran macam macam dan bahkan beliau berjanji langsung menanyakan kepada Dr. Yu, dosen mata kuliah yang saya gagal untuk mengkroscek siapa tahu ada kesalahan (later I know kalau mungkin itu hanya caranya menenangkan saya, karena memang sudah dinilai oleh 2 penilai dimana penilaiannya obyektif). Beruntung, saya tidak disidang oleh examiner board kampus karena kasus plagiarisme saya tidak serius : hanya karena “lupa” tanda kutip saja.

15676445_10208261309439598_387376398778263824_o
View dari jendela dapur flat saya di lantai 4, lantai yang menjadi saksi saya hampir lompat dari jendela untuk bunuh diri 😒

Mau cerita depresi saya yang lain?

Saat itu 3 hari menjelang pengumpulan essay salah satu mata kuliah. Banyak pikiran, saya betul-betul lupa mem-back up file. Qaddarullah, laptop rusak, entah mengapa dan semua file hilang. Saya kembali depresi, pikiran untuk mengakhiri hidup kembali menghampiri. Beruntung saya sempat update status facebook “feeling depressed” meski selang beberapa menit kemudian saya hapus, sehingga ada salah satu teman (jurusan lain yang kebetulan mengambil salah satu unit pilihan yang sama dengan saya) menghubungi saya via inbok, menanyakan apa yang terjadi dengan saya karena sempat melihat saya update status “feeling depressed”. Jadilah kemudian saya bercerita padanya, meski tidak dekat dan baru saja kenal. Dia (yang memang jenius sekali) bahkan menawarkan bantuannya setelah meminta saya untuk tetap tenang dan beristirahat untuk malam ini agar bisa memanfaatkan hari yang tersisa untuk mengerjakan essay itu kembali.

Dia juga meminta saya menghubungi dosen mata kuliah tersebut untuk meminta perpanjangan waktu pengumpulan, tapi alhamdulillah, saya berhasil mengumpulkannya tepat waktu dan nilai yang saya dapat membuat saya tersenyum. Ini beberapa chat darinya.

JANGAN MENYENDIRI SAAT DEPRESI : PIKIRAN BUNUH DIRI MENGHAMPIRI SAAT MENYENDIRI.

Saya beruntung saya termasuk orang yang mudah bergaul sehingga saya memiliki semacam”temen nongkrong” dimana kami semua saling support dan bercerita apa saja. Mereka terkejut dan bahkan mengomeli saya saat tahu saya tidak bercerita mengenai rusaknya laptop saya sehingga tugas saya hilang. Ketika mereka tahu (sehari setelah pengumpulan), mereka yang khawatir pada saya mengajak saya having fun. Benar, kamipun kemudian berjalan-jalan keluar, keliling pusat kota tak peduli betapa dinginnya malam itu. Meski kemudian karena tidak tahan dingin, mereka memutuskan membawa saya ke pub. Eits, jangan suudhan dulu. Mereka membawa saya ke lantai 3 dimana suasanya seperti kafe. Tidak seperti di lantai 1 atau 2 yang isinya orang mabuk mabukan dan joget joget ria yang tentu saya tidak akan nyaman disana. Dan salah satu dari mereka langsung memesankan hot chocolate untuk saya karena tahu saya muslim meski mereka sendiri minum cider, minuman beralkohol khas Bristol. Mengobrol kesana kemari, bercerita cerita lucu, melakukan permainan konyol, membuat saya betul betul kembali tersenyum.

12469541_10154004712890809_4224017287238490295_o.jpg
Temen nongkrong. Hampir setiap weekend kami berkumpul bersama. Doing crazy things seperti jalan kaki keliling kota di tengah dinginnya malam, ke kafe, pub, makan bersama di flat salah satu dari kami, atau sekadar duduk bersama di common room sambil ngemil dan melakukan permainan konyol. Lengkap : Taiwan, Jepang, Indonesia, Korea, Italia, Rusia, Mexico, India, Yunani, Mesir. Minus yang dari US & Lithuania 😍

Trust me, berusahalah untuk tidak menyendiri karena pikiran untuk bunuh diri seringkali menghampiri saat kita menyendiri. Bagi yang tidak begitu mudah bergaul, usahakan milikilah seseorang, teman, atau siapapun yang bisa diajak bicara.

TETAP LIBATKAN DIA YANG MAHA KUASA.

Benar, tetaplah selalu melibatkan Dia dalam segala urusan kita. Termasuk saat stress dan depresi menghampiri.Β Sebab kita tidak pernah tahu betapa dahsyatnya kekuatan doa, yang mampu mengubah kelemahan menjadi kekuatan, kesulitan menjadi kemudahan, depresi tak tertahankan menjadi sebuah ketenangan.

EFEKNYA LUAR BIASA

Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan saya jika saya tidak berani bercerita. They might have been mourning my death if I didn’t talk. ‘Hanya’ dengan bercerita, tidak menutup diri, membiarkan orang lain mengetahui masalah yang sedang saya rasakan, Alhamdulillah saya survive, bahkan bonus mendapatkan Alumni Award, paper-paper diterima untuk dipresentasikan di konferensi internasional, lulus tepat waktu dengan nilai yang baik, disertasi mendapatkan nilai sempurna, dan supervisor mengajak kolaborasi untuk menulis jurnal artikel bersama, yang mungkin semua ini tidak akan terjadi jika dulu saya tidak berani bercerita bahwa saya depresi.

20160625_101505-1
Salah satu judul paper saya yang diterima untuk dipresentasikan di konferensi internasional.
20160625_092847
Bersama Prof. Rod Ellis di salah satu konferensi saya. Beliau adalah salah satu ahli di bidang TESOL yang semua mahasiswa jurusan TESOL pasti mengenalnya. Abaikan muka saya yang masih benyek karena sehari sebelumnya mengalami kecelakaan πŸ˜…

TALK TO ME : GERAKAN MENDENGARKAN TANPA MENGHAKIMI.

Maaf jika terlalu panjang. Saya hanya ingin memberitahukan pada siapa saja yang malu untuk bercerita tentang depresi yang dialaminya bahwa mengalami depresi bukanlah dosa, bukanlah aib yang memalukan, bukan pula tandanya engkau kurang iman atau tidak dekat dengan Tuhan. Bicaralah, berceritalah pada siapapun yang engkau percayai. Dengan tidak menutup diri dan membiarkan orang lain tahu apa yang kita rasakan, InsyaaAllah beban akan sedikit berkurang, seperti yang saya rasakan.

Dan bagi siapa saja yang membaca tulisan ini, jika tidak mau mendengarkan atau memberikan solusi, tolong, setidaknya tahan diri untuk tidak menghakimi.

Melalui tulisan ini, saya juga ingin menggalakkan kampanye TALK TO ME, sebuah gerakan untuk mendengarkan keluh kesah teman-teman yang tengah depresi, tanpa menghakimi, tanpa melabeli dengan label-label menyakitkan hati yang akan menambah tingkat depresi.

Jika diantara yang membaca tulisan ini ada yang sedang depresi, terutama yang tengah menempuh beratnya tekanan study di luar negeri dan sedang butuh teman bicara untuk sekadar menenangkan diri, sebagai seseorang yang pernah mengalami, bahkan sempat ingin bunuh diri, saya siap mendengarkan sepenuh hati.

Yuk, Talk to Me ❀

Tulisan saya sebelumnya tentang bagaimana universitas menangani stress dan depresi :
https://m.facebook.com/photo.php?fbid=10207291670719236&id=1508996135&set=a.1536614944511.2070156.1508996135&source=43

Dimuat juga di Jawa Pos online dalam rangka Hari Pencegahan Bunuh Diri Internasional :
http://www.jawapos.com/read/2016/09/11/50284/tangani-serius-depresi-dalam-studi

Author:

Just an ordinary one πŸ’œ

51 thoughts on “TALK TO ME : Sebab Saat Depresi, Pikiran Untuk Bunuh Diri Itu Dekat Sekali.

  1. Such an amazing writing!! It was great that you sought for help! In Indonesia, we don’t talk about depression, and that’s not good. Saya didiagnosis depresi mayor ketika saya sedang menyelesaikan thesis saya di suatu Univ di Australia. Sebenarnya kecenderungan depresif saya (dan juga mungkin depresi saya) sudah ada sejak lama, tapi memang, I never talked about that. I did not seek help for that, I was too hesitant, and none in Indonesia talked about that! Sampai akhirnya saya punya housemate di Australia dengan depresi, dan dialah yang mendorong saya untuk kemudian mencari pertolongan ke konselor dan dokter. Depression is not uncommon! Di Indonesia kita memang tidak begitu banyak membicarakan tentang depresi, dan masih ada stigma juga tentang depresi. Itu yang membuat saya tidak pernah tau tentang depresi, dan tidak pernah ada ide untuk mengunjungi psikolog/dokter. We definitely need to talk more about that!

    Like

    1. Halo mbak. Widya. So true mbak. Selain di Indonesia masih dianggap tabu, masih banyak orang yang alih alih mendengarkan, mereka justru menghakimi macam macam. Kurang iman, kurang dekat dengan tuhan. Padahal walaupun gak ngasih solusi, asalkan didengarkan tanpa menghakimi, rasanya udah plong, cukup mengurangi beban hati.

      Like

      1. Hampir tiap hari saya merasakan depresi dan paranoid berlebihan. Saya pernah pergi ke psiakiter, beliau malah bilang kalau saya ingin bunuh diri, artinya saya tidak menghargai apa yg sudah diberikan-Nya dan orang tua saya. Saya pernah tinggal di Jepang, dan disana terasa seperti neraka. Hampir setiap hari saya selalu dicemooh dan direndahkan. Saya harus bekerja sendiri untuk sebuah penelitian yang tergolong cukup besar. Supervisor di Indo pun hanya sekadar bilang bahwa budaya Jepang memang seperti itu. Sejak dari Jepang itulah, hampir tiap hari saya ingin bunuh diri, tapi ga kunjung bisa karena saya selalu teringat dengan-Nya. Yang saya bisa lakukan setiap hari saat ingin tidur, hanya berdoa saya tidak bangun lagi esok hari. Saya selalu berharap dan berdoa saya bisa meninggalkan dunia, tanpa saya harus bunuh diri. Berhubungan dan berkomunikasi dengan orang, sudah sangat melelahkan bagi saya. Saya merasa kehidupan sebagai rantai permasalahan yang tidak pernah habis selama kita berhubungan dengan orang.
        Tidak ada teman-teman yang benar-benar mengerti ataupun berusaha mendengarkan saya, bahkan saat saya bilang gamblang bahwa saya ingin bunuh diri. Mereka cuma bilang “ih jangan ngomong serem gitu dong” “Istighfar yu”
        Terima kasih sudah membuka bahan diskusi seperti ini Mba. Saya sangat menghargainya. Hal2 seperti ini memang masih dianggap tabu, dan karena dianggap tabu, ga banyak orang yang bisa mengungkapkan bahwa dirinya sedang depresi. Saya pun juga memendam hal ini dalam2, karena akhirnya saya hanya dianggap lelucon dan bercandaan jika berusaha mengungkapkannya.
        Saat ini saya menjalani kehidupan layaknya mayat hidup. Saya berusaha untuk tidak peduli atas segala macam masalah yg menimpa saya dan saya juga berusaha untuk mengurangi untuk berkomunikasi dengan orang. Lucu, karena pernah ada yang bilang bahwa saya orang extrovert yang gampang akrab dengan orang. Memang benar saya gampang akrab dengan orang, tp itu hanyalah topeng supaya saya bisa hidup di tengah masyarakat yang “meiwajibkan” untuk berkomunikasi. Mungkin ini memang yang terbaik untuk saya supaya saya bisa bertahan di kehidupan ini.
        Semoga orang2 lain yang mendeteksi ada orang depresi di sekitarnya, tidak menganggapnya sebagai lelucon.

        Like

      2. Peluk mbak Rika. Betul mbak. Di negara kita banyak yang masih kekeuh tidak menganggap stress dan depresi sebagai masalah serius. Malah dihakimi macam macam : kurang iman lah, nggak dekat dengan tuhan lah.Semoga terus dikuatkan ya mbak. Let me know kalau lagi butuh temen ngobrol sekadar untuk melepas beban 😘

        Like

  2. Ooh I’ve been there. Trust me, I can’t agree more with you. Perasaan tanpa teman menambah kuat keinginan untuk mengakhiri hidup. Beruntung, ketika puncak depresi terjadi saya masih sempat menghubungi triple zero. And here I am now, more aware about my own depression which helps me mapping my own problem and finding solution. But not everyone is aware when they’re depressed. Seringkali ignorance terhadap depresi inilah yang membuatnya tanpa disadari menjadi pembunuh dalam selimut. So to anyone in depression, don’t be shy to cry out for help. You’re not alone. “Talk to me. I may not be able to solve your problem. But I’m willing to listen. And you’ll be amazed how this will help you”.

    Liked by 2 people

  3. Halo mba Mimi,
    Saya Dintan, mahasiswa di Swedia πŸ˜€

    Dulu sebelum sampai Swedia, saya selalu ngebayangin sekolah di luar negeri, enak, bisa jalan2. Begitu sekolah di sini beneran pusingnya minta ampun haha. Tetap semangat ya mba dengan disertasinya, semoga lancar dan selalu berbahagia untuk mengerjakan disertasinya πŸ˜€

    Oiya mba, sekolah di luar negeri bukan berarti melanggar kodrat atau apapun itu kok mba! Jangan peduli omongan orang mba. Toh hati mba juga sebenernya ga rela untuk ninggal keluarga. Semangat terus mba! Anak mba pasti bangga punya ibu hebat! πŸ˜€

    Like

    1. Sending lots of love for you mbak Dintan ❀ Alhamdulillah saya sudah lulus mb. Bahkan dengan nilai disertasi sempurna. Ah, seandainya saya nvvak berani cerita tentang depresi saya, mungkin nggak akan begibi ceritanha. Wisudanya february ini πŸ˜‡ Haha indeed mbak. Sekolah di luar negeri nggak seindah foto foto narsis yang diupload πŸ˜„

      Like

  4. Reblogged this on The Journey of Life and commented:
    I found this so important, so I’ll just reblog this post. There are many depressed people out there. I experienced times when I was so down and feeling unimportant. Not as bad as the story in this post, but I think more people need to know about this.

    Like

    1. Hi agam, thanks for reblogging so that this can be widely spread to encourage others to talk. I cant imagine what would have happened to me if I didnt talk that time. I talked and I survive, got alumni foundation award, graduated with satisfying result, supervisor asks to collaborate in piblishing a paper…. They might jave been mourning my death if I didn’t talk. Best of luck for everything you are going through right now πŸ˜‡πŸ˜‡πŸ˜‡

      Like

  5. banyak kemiripan dengan apa yg aku rasakan, saya kadang ada rasa seperti sendiri di dunia ini, tidak ada yg mau mendengarkan, bahkan tuhan sekalipun, menciba survive sendiri…

    Like

  6. Saya pernah juga depresi ketika tahun kedua kuliah S1. Saya gak masuk kelas selama sebulan, keluar kamar hanya untuk makan, mandi, dan praktikum (supaya tidak DO). Udah bikin rencana bunuh diri, sampai cari metode bunuh diri paling painless. Beruntung ada beberapa temen yang peduli dan menyadari kalau saya gak pernah dateng ke kampus dan menanyakan ada masalah apa.

    Karena tidak adanya biaya untuk ke psikiater dan takut dihakimi oleh teman yang lain, yang saya lakukan adalah membentuk semacam circle yang isinya mahasiswa yang punya problem yang sama dan saling sharing dengan terbuka tanpa takut dihakimi.

    Sekarang sudah masuk tahun ketiga dan syukur tidak adalagi suicidal thought yang muncul meski sesekali masih sering depresi ringan.

    Link tambahan tentang maraknya bunuh diri di kalangan mahasiswa.
    https://www.washingtonpost.com/posteverything/wp/2014/09/18/college-drove-me-to-the-brink-of-suicide/?utm_term=.0a113f75d62c

    Terima kasih mbak, sudah mau berbagi.

    Like

    1. Sama sama Bondan. Semangat selalu yaaaa.

      Nah untuk masalah konseling ini, di luar negeri sudah cukup bagus. Di kampus saya misalnya, kampus sudah menyediakan layanan konseling gratis dengan psikolog. Juga ada personal tutor. Tinggal mahasiswa mau menggunakan atau tidak. Tentunya jika di Indonesia ada program seperti ini, akan sangat bagus πŸ˜‡

      Like

  7. Luar biasa mbah Fissilmi, bisa bertahan dari masalah yg menurut aku ini masalah serius karna menyangkut nyawa. Well, memang benar kalau pun cuma sekadar mendengarkan dan enggak menghakimi kita udah banyak membantu lo, karna dengan mendengarkan kita udah berperan sebagai tempat buat mereka yg butuh wadah untuk menuangkan rasa stress dipikirannya.
    Nice mbak, Sharing itu menyenangkan.
    Hihihihi 😁😁😁

    Like

    1. Betul. Sekadar didengarkan meski tanpa solusi saja sudah membuat plong luar biasa. Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau dl saya tidak berani cerita. Hanya dengan cara bercerita, memberi tahu orang lain ttg yang saya rasa, alhamdulillah efeknya luar biasa

      Like

  8. Sungguh mengesankan, tanggapan teman2 di luar negeri. Serius menghadapi keadaan lingkungan psikologis yang terjadi disekitar mereka. Sangat disayangkan, di negeri sendiri, banyak individu sangat enggan menyadari akan pentingnya hal ini. “Itu urusanmu” selalu didengungkan dimana-mana. Segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan interest masing-masing ditanggalkan. Sedang yang kuat memeras yang lemah. Sungguh ironi

    Like

    1. Benar sekali. Masih banyak masyarakat kita menganggap stress dan depresi sebagai sesuatu yang tabu. Jika ada yang bercerita, bukannya didengarkan, malah dihakimi macam macam. Kurang iman lah, tidak dekat dgn Tuhan lah, sehingga kemudian orang yang depresi lebih memilih menyimpan sendiri depresinya yang tentu saja itu tidak bagus 😒

      Like

  9. Tengkyu mbak tulisannya. Kebetulan saya sudah lulus kuliah, tapi kalau inget masa kuliah, masih termehek2 krn rasanya berat banget. Skali lagi tengkyu ya mbak sharingnya.

    Like

  10. Saya udah pernah mengalami masa seperti itu. sekarang jadi tahu bagaimana menghadapinya jika berada disituasi seperti itu walau tidak 100% menjalaninya.

    Pernah berada disituasi di”kick” dari Prof sebagai mahasiswa bimbingannya. lalu ditendang oleh pihak sponsor walau sudah dapat kampus dan Prof penganti dan sudah mengeluarkan biaya yang jumlah 3 digit didepan 6 angka nol demi dapat kampus dan Prof pengganti.

    sekarangpun jadi kayak orang paling bego dikantor ga bisa apa2 karena udah beda lagi ilmu yang dipake dikantor sehingga “dikotakkan” oleh pihak2 yg berkuasa
    dianggap bodoh karena sudah di tolak oleh 23 lowongan S3 dan terus berlanjut berjuang mencari lowongan2 S3.

    tetapi hal itu semua pasti akan ada hikmahnya. dan berbuah manis nantinya jika selalu tenang dan berjuang.

    Terima kasih atas sharingnya jadi mengingatkan akan diri kembali untuk selalu tenang dan berjuang.γ€€ …

    Like

      1. saya lebih speechless pas baca tulisannya.
        membayangkan peristiwa pada saat anda memandang ke bawah dari lantai 4. itu pernah terjadi ke saya dimana saya berdiri dibalkon sambil memandang ke bawah dari lantai 11.

        Terima kasih atas supportnya πŸ™‚ ….

        Like

  11. Hai mbak,
    Terimakasih sharing nya, aku nangis baca nya, karna kebetulan aku student juga di eropa, jadi bisa merasakan kalau ada di posisi mbak. Aku kebetulan orang nya susah banget bergaul, kalau ada di tengah2 orang yang aku gak kenal bisa keringet dingin, pusing, mual. Dan sekarang aku satu2 nya orang asia di kelas. Aku juga udah pernah ngerasain di ketawain satu kelas karna dosen nya nanya apa aku jawab apa, padahal buat ngomong aja usaha nya udah setengah mati. Belom lagi aku kalo udah homesick itu udah akut banget, bisa nangis seharian, ga makan seharian. Pernah nyoba cerita ke orangtua tapi aku malah di bilang ngeluh terus. Kadang kita emang butuh orang cuma buat denger cerita kita. Karna beban nya itu bener2 berat. Apalagi aku juga anak pertama, kuliah gak selesai2, uang orang tua udah abis banyak banget, sementara aku masih ada adek 4, pikiran2 kayak gitu kadang numpuk juga di kepala. Kalo mau cerita ke temen juga kadang mikir “ah masalah gue kayanya sepele, mereka kan juga punya masalah masing2” ujung nya ga jadi cerita dan akhirnya numpuk terus.

    Like

    1. Halo mbak Riri. Peluk jauh biat mb Riri. Semoga terus dikuatkan yaaa. Bener mbak, kalau sama orang tua, saya sendiri juga jarang cerita. Takut kepikiran dsb. Makanya saya sering upload foto2 narsis di socmed, sekadar mengabarkan pada dunia bahwa saya baik baik saja meski sebetulnya tengah depresi luar biasa. Kalau mbak butih teman untuk sekadar berbagi rasa, dont hesitate to let me know ya mbak. Semangat! ❀❀❀

      Like

  12. Hai mba aku terinspirasi sekali dengan bacaan ini, aku sekarang sedang studi di polandia yang mewajibkan belajar bahasa selama 1 tahun dan kemudian master disini. Berat sekali rasanya setiap hari, memang benar seperti yang dibilang disini bagaikan di neraka. Kadang aku pun merasa menjadi yang terbodoh di kelas, tidak bisa bersuara dan hanya bisa diam saja. Benar-benar butuh motivasi dan teman yang mau mendengarkan kesulitan kita, tapi susah menemukan teman seperti itu.

    Like

  13. Dengan hormat, saya mohon agar dibuatkan hukum tentang bunuh diri.

    Dengan mempertimbangkan bahwa:
    1. Kehidupan adalah hak setiap manusia.
    2. Tidak seorangpun yang bersedia mengalami kematian.
    3. Tidak seorangpun bersedia jatuh ke dalam dosa dengan cara bunuh diri.
    4. Setiap peristiwa pasti ada penyebabnya.

    Maka sebaiknya: Setiap orang yang menjadi penyebab terjadinya bunuh diri wajib dituntut secara hukum.

    Misalnya perkosaan, pelecehan, pencabulan, penipuan, fitnah, informasi palsu, perampasan hak, KDRT, pemerasan, pencurian, perampokan dsb.

    Contoh kasus:
    1. Seseorang yang sedang berjuang memperbaiki keadaan ekonominya dengan cara halal, lalu terkena PHK karena fitnah, lalu korban bunuh diri. Maka kasus tersebut wajib diusut layaknya peristiwa pembunuhan.

    2. Seorang wanita yang dihamili lalu pihak lelaki tidak bertanggung jawab, akhirnya korban melakukan bunuh diri. Maka kasus tersebut juga wajib dianggap serius layaknya pembunuhan.

    Semoga saran ini dapat diterima, terima kasih.

    Like

  14. I love your story.. i’ve been there before, pas dl ngambil pendidikan profesi dokter (koas). Slogan kami ketika mau masuk stase baru adalah “welcome to the hell”.. krn saya bljr ttg psikiatri, saya paham kl saya mengalami gangguan penyesuaian n gangguan depresi. Tiap lewat poli psikolog di RS, rasanya pengen mampir, tp malu. Pasti bakal jadi bahan omongan se-RS, dianggap tidak punya mental yg kuat (krn toh sebenernya sistem pendidikan yg keras niatnya membentuk mental yg kuat). Ga pny teman tempat bicara jg, krn saya pikir teman2 lain sama2 mengalami masa yg keras ini, tp mereka baik2 saja. Jd saya semakin enggan, dan simpan utk diri sndiri saja. Alhamdulillah msh bs menjalaninya sampai selesai.
    Akhir tahun ini, saya berencana mengambil pendidikan spesialis (residen), yg kondisi pendidikannya sebenrnya jauh lbh menekan.. masa residensi ibarat “true hell” jika dibandingkan dg masa koas. no place for mistakes. Pastinya saya merasa takut, krn sudah bs membayangkan apa yg akan saya hadapi, jg kekhawatiran depresiny berulang.. tp yah, semua harus diijalani, demi tercapainy cita2. Smg Allah memudahkan perjalanan qt..

    Like

    1. Hi there. Cuma bisa bilang, tetep semangat ya! 😊 you have successfully defeated co-ass period, then I am sure you will suceed in the next step as well. Semangaaat! πŸ˜‡πŸ˜‡πŸ˜‡

      Like

  15. Saya juga hampir bunuh diri ketika pernikahan itu ternyta cuma mimpi saya. Merasa tak ada satupun yg percaya dn dihianati oleh yg dicinta. Tapi Alhamdulillah Allah msh berkenan menunjukkan arah, sebagian sahabat yg masih mau memeluk sy dg yakin, juga keluarga yg jg mnjd alasanku ttp bertahan mski mereka tak prnah tahu alasan dibalik mata sayu-ku slama brtahun2 lalu.

    Like

  16. Salam kenal, mba Mimi,
    Terimakasih tulisannya bagus dan mencerahkan sekali. Seakan memaparkan semua yang tersimpan di benak saya dan tak bisa terungkapkan.
    Saya juga pernah mengalami masa sulit dan merasa sendiri. Yang kini saya tahu bahwa itu berbahaya sekali.
    Saya ikut menyebarkan kampanye TALK TO ME nya ya mba Mimi.
    Oya, putrinya lucu banget…

    Like

Leave a comment